Menjelang pertempuran terakhir yang menentukan, kami semua, para prajurit,
bersiap. Mengumpulkan tenaga, mengerahkan jiwa-raga untuk mengakhiri
habis-habisan benturan yang sudah berlangsung ratusan tahun ini.
Aku duduk di batang pohon kelapa yang mati disambar geledek. Di pangkuanku
senjata, sisa-sisa peluru, rasa sakit, dan lelah yang sudah tidak aku pedulikan
lagi.
Bila subuh pecah dan matahari menyerakkan bara di langit timur, kami harus
menyerbu. Hidup atau mati itu soal nanti. Roda sejarah ini tidak boleh
berhenti.
Kawan-kawanku ada yang berbaring tidur untuk menikmati mimpinya yang
mungkin tidak akan pernah lagi kembali. Ada yang menulis surat buat keluarganya
meskipun dia tahu semua itu tidak akan pernah sampai. Di depan nyala api,
komandan termenung seperti membaca apa yang akan terjadi.
Waktu itulah sebuah tangan menepuk pundakku. Setan datang dengan wajah yang
gemilang. Lebih cantik dari semua bintang layar kaca atau bidadari di kelir
wayang yang pernah aku tonton.
Senyumnya menghancurkan seluruh duka yang bersembunyi di balik tulang dan
urat-uratku yang sudah patah dan rengat. Dan baunya bukan main harum. Semerbak
sehingga medan pertempuran yang anyir oleh bau darah itu berubah jadi kamar
hotel berbintang sembilan yang sensual.
"Bang," suaranya mendesah membasahi telinga.
Aku tak berani menoleh. Imanku sudah runtuh mendengar sapa yang
menyengatkan listrik ribuan voltase itu.
"Bang, aku datang membawa pesan untukmu. Abang punya waktu sebentar
aku ganggu?"
"Pesan apa?"
"Jangan memandang ke depan hanya sebatas pandang."
"Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan, aku hanya manusia biasa yang sudah
bertahun-tahun tidak sempat tidur."
"Kalau Abang hanya melihat yang ada di depan Abang, Abang hanya akan
melihat sebuah tiang bendera. Paling banter Abang hanya akan kepingin menaiki
tiang itu untuk mengibarkan bendera."
"Betul, memang begitu."
"Paling banter Abang hanya akan menikmati bendera itu mengibas-ngibas
ditiup oleh angin yang bertiup membawa asap knalpot, sampah pabrik, dan
debu-debu kotor yang penuh penyakit. Dalam waktu sekejap Abang akan
sakit."
"Tidak apa. Aku sudah biasa sakit. Tambah sakit lagi tidak akan
berarti apa-apa. Sebentar lagi ini akan berakhir.
Begitu rona merah menebarkan api di langit, pertempuran yang tidak seimbang
ini akan memusnahkan kami semua. Tapi tidak apa. Demi merdeka jiwa-raga harus
rela dikorbankan."
"Itu bodoh. Itu tidak perlu terjadi. Abang harus terus hidup untuk
mengalami apa yang akan terjadi. Untuk apa berjuang kalau hanya untuk
mati?"
"Untuk merdeka."
"Abang sudah tertipu! Lihatlah ke depan. Enam puluh lima tahun lagi,
kalau Abang merdeka, Abang akan menyesali apa yang sudah Abang lakukan."
"Kenapa?"
"Enam puluh tahun lagi dari sekarang, pohon-pohon itu akan ditebangi
jadi jalan dan mall. Pencakar-pencakar langit akan menancap di setiap jengkal
tanah di seluruh tubuh kota.
Jalan layang melilit kota, tidak ada lagi yang akan sempat melihat pagi dan
senja merah, karena langit sudah dihancurkan oleh dosa-dosa pembangunan.
Di jalanan tidak ada lagi ruang bagi pejalan kaki dan sepeda, semua direbut
oleh kendaraan mewah punya para konglomerat.
Kehidupan ini bukan milik rakyat, tapi para pemimpin, ketua-ketua partai,
dan para cerdik pandai yang nenjadi selebriti karena teori-teori kemanusiaannya
yang luar biasa cerdas, tetapi tak pernah berpihak kepada kemanusiaan.
Uang adalah dewa yang paling tinggi yang ingin dimiliki oleh semua orang
dengan segala macam cara. Termasuk menipu, menindas, membunuh, juga
mempergunakan ideologi, ilmu pengetahuan, kesenian, dan agama.
Karena itu, terimalah ini. Aku diminta menyampaikan ini kepada Abang.
Buanglah senjata yang tidak akan sempat meletus itu, karena senjata-senjata
kuman sudah terlebih dahulu akan mematuk nyawa Abang. Kecuali kalau Abang
terima ini!"
Setan mengulurkan sebuah cek.
"Berapa saja angka yang Abang taruh di atasnya, cek ini akan bunyi
tetapi dengan satu syarat."
"Aku harus meletakkan senjata? Tidak!"
"O tidak, tidak! Abang tak perlu meletakkan senjata, itu melanggar
janji seorang prajurit. Tetap saja angkat senjata Abang dan kemudian tembakkan.
Karena itulah gunanya senjata itu diberikan.
Tapi jangan menembak ke arah depan. Karena musuh yang sebenarnya bukan di
depan, tetapi di samping dan di belakang. Terutama di dalam diri Abang sendiri.
Tembak semuanya itu, bersihkan musuh-musuh dalam selimut yang sudah membuat
enam puluh lima tahun merdeka itu lebih neraka dari apa yang ada
sekarang."
Aku tercengang.
"Menembak ke dalam diriku sendiri?"
"Ke samping dan ke belakang juga."
"Tapi, itu bunuh diri."
"Bukan. Itu pembersihan rohani!"
"Itu berarti aku akan membunuh teman-teman seperjuanganku
sendiri."
"Bukan. Mereka itu musuh dalam selimut."
Aku terkejut.
"Bagaimana, berkenan? Mohon jangan menolak, karena aku akan kecewa dan
sedih."
Setan tidak menunggu jawabanku. Dia langsung menjatuhkan diri ke pelukanku.
Lalu mencium dengan mulutnya menempel seperti bekicot. Ciuman lengket itu
membuat tubuhku meleleh.
Pagutan tangannya adalah lengan-lengan gurita yang mengurung dan membelit
sukma sehingga aku ringsek total.
Senjata itu terlepas dari tanganku, sementara cek yang diselusupkan ke
kantung bajuku seperti tangan nakal yang merogoh liar kegairahanku, sehingga
dalam ketegangan yang tak tertahan, aku tidak bisa bilang tidak.
Aku terpanggang di dalam api setan. Aku melambung dilalap kenikmatan yang
belum pernah kualami.
Apa yang lebih berharga lebih dari rasa bahagia. Apa aku harus menolak apa
yang dikejar oleh semua orang dengan mengorbankan jiwa-raga dan kehormatannya,
apalagi ia datang menyerahkan diri kepadaku tanpa syarat.
Aku kelenger. Belum pernah aku menikmati kenikmatan yang begitu panjang dan
seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Aku hanyut dan menyerah. Aku ingin
berada di puncak kebahagiaan itu selama-lamanya.
Tetapi, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika aku terbangun, aku
terperanjat. Di depanku, sahabat karibku berlumuran darah.
Wajahnya begitu dekat, sehingga aku tepercik oleh darah yang menetes dari
lubang peluru di dahinya. Ia membuka mulutnya tetapi begitu lemah, sehingga aku
menempelkan telingaku untuk mendengar.
Bangun, tembak, jangan tidur, mereka menyerbu sebelum kita sadar, katanya,
lalu langsung roboh. Aku gugup tapi berdiri. Sekitarku sudah menjadi lautan
mayat.
Semua temanku sudah tertembak mati. Tinggal aku sendiri yang luput karena
sudah bermimpi atau memang aku disisihkan supaya katut menang, karena setan
sudah memilih.
Lupa pada cek yang ada di kantung. Lupa pada gambar yang sudah ditempelkan
setan di benakku tentang kebobrokan 65 tahun yang akan datang, aku angkat
senjata. Tapi mana senjataku.
Tanganku kosong, senjata entah di mana. Aku berteriak histeris, tapi
suaraku ditelan kebekuan kalah. Aku berontak. Aku angkat tanganku, tapi tidak
bisa, tanganku kaku. Aku menadahkan muka ke atas menjerit minta pertolongan.
Tiba-tiba, di atas sana aku lihat bendera sang saka berkibar di puncak
tiang. Gagah dan bergelora dikibas-kibaskan angin. Negeriku sudah merdeka.
Rakyat bebas.
Aku meledak. Kesedihanku berubah jadi kegembiraan. Aku terlempar ke 65
tahun yang akan datang di tahun 2010. Terima kasih Tuhan!
Tapi, ketika memandang di sekitar, aku terperanjat. Hutan dan gunung
gundul. Sungai kering dan laut terpolusi. Musim hujan tidak karuan.
Bencana alam menghantam. Hujan, banjir, longsor tetapi hutan terbakar,
gunung meletus, sumur bumi muncrat menenggelamkan kota dalam kubangan lumpur.
Demam berdarah, flu babi, narkoba, kemiskinan, korupsi, gontok-gontokan
agama, disintegrasi. Rakyat kelaparan sementara para pejabat sibuk bertengkar
saling menyalahkan dan menghasut dialah yang paling tepat memimpin. Keos!
Lalu aku dengar setan tertawa.
Betul tidak, betul tidak apa yang aku aku katakan, kata setan. Tidak ada
gunanya kemerdekaan. Kemerdekaan hanya buat orang kaya dan yang berkuasa.
Kalian, 220 juta kawula, akan tetap menjadi budak yang tidak punya masa depan.
Bukan kalian yang akan menulis sejarah tapi para konglomerat,
petualang-petualang politik dan para elite yang melihat kehidupan dari balik
teori-teori akademisnya yang abstrak.
Setan tertawa ngakak.
Aku jadi muak! Benci! Marah! Sumpek! Aku sumpahi, ludahi, hajar habis semua
kebiadaban itu. Aku malu, aku luka, aku sakit!
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika kubuka mata, anakku,
Taksu, berdiri di depanku dan berbisik.
"Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada
para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu akan terus
menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku
buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang
bebas dan merdeka."
Aku terkejut. Kupandang Taksu seperti melihat terowongan gelap.
"Apa? Coba ulangi!"
Taksu mengucapkan sekali lagi, sementara aku memejamkan mata.
Kalimat-kalimat itu seperti ujung jarum yang menembus kuping dan masuk langsung
ke hulu hatiku.
Jantungku yang robek dijahitnya kembali. Sedang hulu hatiku yang tertutup
dibukanya lebar-lebar agar udara yang segar berembus masuk mencuci pikiranku
yang sumpek.
Begitu Taksu selesai bicara, kubuka mata seperti orang baru sadar dari
pingsan. Aku seperti dilahirkan lagi. Segar, bersemangat, dan penuh dengan
harapan.
Entah dari mana perasaan yang indah itu begitu saja merasukiku. Itu
pemaknaan yang baru terhadap kemerdekaan yang membuat horison menjadi berbeda.
Luas, tak terbatas, dan siap untuk ditempuh sekali lagi. Luar biasa!
Aku tatap anakku dengan kagum.
"Kamu hebat sekali, Taksu! Sejak kapan kamu berpikir mulia
begitu?"
Taksu membuka HP.
"Itu pesan Facebook dari Yulie Panthi, salah satu kawanku di FB."
"Waduh, hebat sekali dia!"
"Itu kutipan dari ucapan Nelson Mandela."
"Pemimpin Afrika Selatan itu?"
"Betul!"
"Wah, wah, wah! Hebat!"
"Yang hebat Nelson Mandela!"
"Tidak! Teman kamu dan kamu juga hebat! Hanya orang-orang yang hebat
mengerti makna-makna yang hebat. Itu pemahaman kemerdekaan yang luar biasa,
dewasa, dan mulia, yang sangat perlu direnungkan oleh seluruh bangsa Indonesia
sekarang yang hatinya penuh benci, dengki, marah, dan berangasan!"
Taksu ketawa mengejek.
"Berarti Bapak juga hebat dong sebab memuji kalimat itu setinggi
langit. Buat aku sih biasa-biasa saja. Kuno! Kata-kata mutiara bisa dibuat
seratus biji dalam satu menit, tetapi bukan itu yang kita perlukan.
Kita memerlukan tindakan. Indonesia di usia 65 sudah inflasi kata-kata
mutiara. Sekecil apa pun, tetapi tindakan selalu lebih konkret dari kata-kata
yang hanya akan menenggelamkan Bapak ke dalam mimpi siang! Good-bye!"
Sebaliknya, daripada membantah aku memejamkan mata kembali. Nelson Mandela
sudah meniupkan angin baru yang membuat aku bebas, lega, dan lapang dada.
"Sekarang aku mengerti," gumanku ketika istriku lewat mau ke
dapur.
Seperti aku harapkan, dia berhenti.
"Mengerti apa?"
"Apa sejatinya makna kemerdekaan."
"Apa?"
"Bebas."
"Memang dari dulu begitu kan? Masak baru tahu? Makanya Bung Karno dan
Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan kita. Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasan dan
lain-lain akan diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya."
"Dan apa sejatinya makna kebebasan?!"
"Apa?"
"Melupakan!"
Istriku terkejut.
"Melupakan? Masak?"
"Ya! Kelihatannya tidak mungkin, bahkan sepele. Tetapi nyatanya Nelson
Mandela sudah membuktikan itu.
Tak mungkin orang besar dari Afrika Selatan itu mampu bertahan disekap
puluhan tahun di penjara, padahal usianya sudah uzur, sehingga ketika
dibebaskan dia masih sehat jasmani dan rohani sehingga mampu memimpin sebagai
presiden pertama Afrika Selatan!"
Lalu kuulangi Mandela seperti yang aku dengar dari Taksu.
"Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada
para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu, akan terus
menyandera diri dan jiwaku.
Aku ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian
itu, sehingga aku benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan
merdeka."
Dewi, istriku, manggut-manggut.
"Hebat, mulia, dan sangat agung pikirannya kan, Bu?"
"Ya, iyalah Pak, orang besar memang pikirannya juga harus besar!"
"Lho, bukan orang besar saja. Orang kecil, rakyat jelata, seperti kita
juga harus meneladani apa yang ditemukan oleh orang-orang besar itu. Karena
itulah kita sebut dia pemimpin. Bukan hanya karena dia berdiri paling depan
kalau kita berperang, itu sih wayang. Tetapi karena dia membuka makna-makna di
dalam kehidupan, sehingga kita bisa melihat apa sebenarnya inti baik, buruk,
adil, dan khususnya kemerdekaan itu. Tidak seperti kita sekarang di Indonesia
ini yang sibuk membenci orang lain, meskipun memang pantas dibenci!"
Istriku termenung.
"Jadi Bapak setuju pada Mandela?"
"Lho bukan hanya aku yang sudah tua bangka ini, Bu. Bukan hanya kita
yang sudah bangkotan karena kebanyakan makan garam ini saja. Anak kita, si
Taksu yang masih mentah itu, juga setuju. Justru dia yang tadi membacakan
pikiran agung Nelson Mandela itu kepadaku, sehingga aku seperti mendapat
pencerahan. Begitu hebatnya arti kata-kata. Hanya kata-kata, tetapi cukup bisa
mengubah perasaanku. Itu dia kehebatan seni. Pikiranku seperti dicuci bersih,
plong sekarang oleh kebenaran yang diulurkan Mandela. Umpama Ibu hanya masak
tempe-tahu atau ikan asin tok seperti biasanya, suamimu ini tidak akan sambat
lagi. Perasaanku jadi tenang setelah mendapat siraman kebenaran dari Mandela.
Batu pun rasanya sekarang enak!"
"Ah, Bapak kalau lagi senang suka melebih-lebihkan begitu."
"Lho, aku serius! Ini penting sekali. Perubahan itu tidak dimulai dari
penampakan jasmani, tetapi rohani. Kalau di dalam sini sudah bener, semuanya
akan jalan.
Tapi kalau di hati sudah rusuh dan kotor, apa saja, yang baik dan sudah
adil juga jadi salah. Ya nggak?"
"Jadi Bapak sekarang pengikut Nelson Mandela?"
"Bukan, bukan, ini bukan kultus individu. Nelson Mandela tidak usah
dipuja-puja.
Dia juga manusia biasa.
Tetapi pikirannya tentang kemerdekaan dan kebebasan itu sangat agung,
perlu, harus, wajib, dan mesti kita laksanakan, kalau mau mengubah keadaan baik
di Indonesia maupun di batin kita sendiri. Kita harus menjadi manusia yang
merdeka, bebas, sehat, dan waras!"
Dewi menganguk-angguk.
"Sekarang aku ke tetangga dulu dan menyebarkan virus kemerdekaan dan
kebebasan Nelson Mandela ini. Hal-hal yang baik tidak ada gunanya kalau tidak
disosialisasikan! Ini ibadah!"
Aku bergegas keluar. Kutumpahkan ucapan Nelson Mandela itu, lengkap dengan
kecap manisku. Aku pujikan usaha berpikir positif, yang konkret dan
arif-bijaksana itu.
Tak cukup kepada beberapa tetangga, kusamper warung dekat rumah. Aku
tularkan konsep kemerdekaan yang membebaskan perasaan itu kepada semua orang.
Yang menyenangkan, hampir semua, setelah diberi penjelasan, keplok tangan,
sepakat menganggap Nelson Mandela sudah memasok rumusan penting untuk membuka
citra baru tentang apa itu merdeka.
Sore hari baru aku pulang. Ketika membuka pintu, terdengar suara azan dan
beduk tanda buka puasa. Tepat sekali.
Aku bergegas masuk, lalu nyruput teh manis panas yang sudah dihidangkan
istriku. Nikmat. Tak ada yang lebih indah dari seteguk teh panas manis di ujung
puasa. Perutku langsung gemeletuk minta diisi. Tapi ketika membuka tutup meja
makan aku terkejut.
Tempe, tahu, dan ikan asin lagi.
"Kok hanya tempe-tahu dan ikan asin tok? Beribu-ribu kali aku sudah
makan tempe-tahu dan ikan asin, Masak aku mesti makan semuanya itu sekali lagi
sekarang sesudah 12 jam tidak makan dan minum? Mana pecel lelenya?"
Istriku cepat datang.
"Kenapa Pak?"
"Kenapa tempe-tahu dan ikan asin lagi. Tempe-tahu dan ikan asin tiap
hari. Mana pecel lelenya? Aku kan sudah minta sekali ini pecel lele? Aku kan
minta pecel lele?"
"Ya!"
"Mana?"
"Tapi?"
"Jangan tetapi! Pecel lele! Mana? Aku kan minta pecel lele, bukan
tempe-tahu dan ikan asin! Pecel lele!"
"Ya Bapak memang minta pecel lele, tapi setelah itu Bapak bilang
..."
"Pecel lele!"
"Tidak! Setelah minta pecel lele, Bapak bilang, kalau hati sudah
plong, bersih, merdeka, dan lapang, apa pun jadi baik. Batu pun jadi
enak!"
Aku tertegun.
"Aku bilang begitu?"
"Ya, Bapak bilang begitu!"
Aku terhenyak.
"Ya, ya sudah, kalau aku sudah bilang begitu, memang harus begitu.
Nggak ada masalah. Tempe-tahu dan ikan asin juga enak kalau batu saja
enak!"
Kontan kulupakan pecel lele, kembali pada Nelson Mandela. Tempe-tahu dan
ikan asin itu aku andaikan dalam hati ikan reca-reca. Dengan garang aku lahap
tempe-tahu dan ikan asin itu dengan nikmat.
Peluh berleleran dari kepalaku. Istriku takjub seperti tak percaya.
"Bener nikmat?"
Nikmat sekali. Lalu aku berbisik mesra untuk membuktikan kenikmatanku.
"Besok pagi kita kabulkan permintaan Taksu yang sudah dua tahun kita
tunda, karena khawatir dia ketularan budaya kemewahan. Kita belikan dia motor
baru. Ibu tarik semua uang kita yang dipinjam oleh tetangga-tetangga, karena
memang sudah lama betul belum dikembalikan."
"Tidak bisa!"
"Lho, kenapa tidak? Tiga bulan lalu mestinya sudah mereka
kembalikan!"
"Itu dia, Pak. Daripada aku tekanan batin sampai malas keluar rumah
ketemu tetangga, karena kesal dicurigai mau nagih hutang-nagih hutang melulu,
setiap aku keluar mau bersilaturahmi mereka langsung mencelup masuk, seperti
ada hantu, takut akan aku tagih! Sudah berapa hari ini aku jadi segan keluar
rumah. Supaya bisa bebas dari tekanan batin dan merdeka lagi, tadi aku datangi
mereka dan bilang pada semuanya, ya sudah, hutang-hutangnya dilupakan saja
semua. Jadi, sekarang aku sudah bisa tenang lagi seperti kata Nelson
Mandela."
Aku langsung berhenti makan. Tempe-tahu dan ikan asin itu terasa sekeras
batu. Batu-batu itu mengganjal kerongkonganku sehingga aku tercekik.
"Ya Tuhan, alangkah beratnya memperjuangkan kemerdekaa. Tapi
seberat-beratnya berjuang merebut kemerdekaan, ya Tuhan, alangkah beratnya
hidup sesudah merdeka!"
Karya
: Putu Wijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar